Thursday, September 24, 2009

Membina Diri Menjadi Murabbi

LINK



Sunday, 21 June 2009 10:40
Menjadi orang yang shalih dan mushlih adalah buah yang kita
harapkan dari proses pembinaan yang kita jalani. Shalih secara
pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya
keshalihan pada orang lain
merupakan teladan dari
Rasulullah SAW dan para salafushshalih yang sepatutnya kita
ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak di antara kita yang
mendapatkan kesempatan menjadi mentor atau murabbi baik
di kampus maupun sekolah. Sesungguhnya yang kita inginkan
bukanlah semata banyaknya jumlah adik mentor atau
mutarabbi
kita.

Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kuantitas dan
kualitas selalu merupakan fungsi yang bergradien positif. Atau menurut
slogan seorang ikhwah,”Daripada berjuang bersama 20 orang tapi tidak
berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang yang berkualitas.”


Kunci utama peningkatan kualiti umat ini terletak di tangan para penyeru
seruan Islam itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti penentu penjagaan
dan peningkatan kualitas keshalihan para adik mentor/mutarabbi adalah
para mentor/murabbi itu sendiri.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang mesti kita usahakan
agar melekat pada diri para mentor/murabbi
:
1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna
dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-
rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya,
karena seorang mentor/murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki
akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa
yang didengar dan diperhatikan dari sang mentor/murabbi, maka apabila
seorang mentor/murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai
dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman,
maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada adik mentor
/mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam
pembentukan kepribadian muslim sang adik mentor/mutarabbi itu sendiri.

2. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang mentor/murabbi dengan
amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya
,
seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya
, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan
pemahaman dalam kehidupan sang mentor/murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya
di tengah-tengah masyarakat.

Seorang ulama, Hasan Al-Banna mensifati murabbi dengan sebutan da’i mujahid,
lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i mujahid adalah : “Sosok seorang da’i
yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang mentor/murabbi, tercermin iman dan keyakinannya pada perilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang mentor/murabbi, bahwa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqomah
di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “Manthiqal Af’al aqwa
min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafushashalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik).

Al-imam Syafi’i rahimahullohu berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul).

3. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang mentor/murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal dan sebagainya.

Oleh karena itu seorang mentor/murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda : “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)

Berkaitan dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini, diantara mereka adalah Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata : “Sesungguhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada Antum, masalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Hasan Al-Banna : “Sudahlah jangan bebani diri Antum dengan masalah itu, serahkan urusan Antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin Antum tahu”, sergah Akh tersebut, “Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Al Banna seraya meyakinkan Akh tersebut, “Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut.

Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata”.

(Tawazun)

Wednesday, September 16, 2009

~selamat hari rayer~


Eidulfitr atau Hari Raya Aidilfitri atau Hari Raya Puasa adalah perayaan umat Islam yang disambut oleh umat Islam pada setiap tahun.

Ianya disyariatkan oleh Allah untuk umat .

Eidulfitr juga adalah perayaan iman.

Bagi setiap orang yang benar-benar memahami dan menghayati Islam akan menginsafi dan merasai bahawa betapa gembiranya mereka pada hari ini.

Betapa agungnya Aidilfitri jelas dilihat apabila Rasulullah s.a.w melarang umatnya (haram) daripada berpuasa pada hari itu.

Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri, katanya:

“Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: Tidak boleh berpuasa pada dua hari tertentu iaitu Hari Raya Korban (Aidiladha) dan hari berbuka daripada Ramadan (Aidilfitri).”

(Hadis riwayat Muslim).

Dalil Aidilfitri

Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, Baginda SAW mendapati bahawa kaum Ansar mempunyai dua hari istimewa yang disambut dengan suka ria. Lalu Nabi SAW mengulas hal ini dengan

sabdanya:

"Allah telah menggantikan bagi kamu semua dua hari yang jauh lebih baik, iaitu Aidil Fitri dan Aidil Adha"
(HR. Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad hasan).

SUNNAH NABI SAW DI HARI RAYA

Kegembiraan umat Islam menjelang Eidulfitr tidaklah bererti umat Islam menyambutnya sebagaimana kaum-kaum yang lain bersuka ria pada hari-hari kebesaran mereka. Antara sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w.:

  • Bangun awal di pagi hari
  • Membersihkan diri dan menyiapkan pakaian.
  • Mandi selepas solat Subuh.
  • Menggosok gigi.
  • Mengenakan pakaian yang terbaik, sama ada yang baru atau yang lama tetapi bersih.
  • Memakai bau-bauan (bagi lelaki)
  • Bagi Aidilfitri, disunatkan bersarapan dahulu sebelum ke solat sunat Hari Raya.
    • Sebelum pergi menunaikan solat sunnah Eidulfitr, Baginda s.a.w. akan mengenakan pakaian yang terbaik, kemudian menjamah tamar dengan bilangan butiran ganjil iaitu tiga, lima atau tujuh biji. Hal ini berlainan dengan Hari Raya Aidiladha di mana Baginda s.a.w. imsak (tidak makan) sebelum menunaikan solat sunnah Hari Raya Aidiladha.
  • Membayar zakat sebelum menunaikan solat eidulfitr.
    • Baginda SAW akan berpesan agar kaum muslimin menyegerakan pembahagian zakat fitrah kepada mereka yang berhak, manakala solat sunnah Aidiladha disegerakan supaya umat Islam dapat mempercepatkan urusan sembelihan korban. Mengenai hal tersebut, Allah Ta 'ala berfirman: "Maka dirikanlah solat kerana Tuhanmu dan berkorbanlah! " (Al Kautsar: 2).
  • Hadir ke masjid / kawasan solat jemaah dengan awal.
  • Menunaikan solat sunat eidulfitr di kawasan terbuka, kecuali jika keadaan tidak mengizinkan seperti hujan, salji dan sebagainya.
  • Mengambil jalan yang berbeza untuk perjalanan pergi dan pulang dari masjid / tempat solat jemaah.
  • Mengucapkan takbir dan tahmid sepanjang perjalanan untuk menunaikan solat sehingga sebelum menunaikan solat sunat eidulfitr. Takbir tersebut:

IBADAT PUASA DI BULAN SYAWAL

Umat Islam juga disunatkan untuk berpuasa selama 6 hari dalam bulan Syawal.

Antara dalilnya:

  • Abu Ayyub Al-Ansari RA meriwayatkan, Nabi SAW bersabda :
    "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
  • Imam Ahmad dan An-Nasa'ie, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi SAW bersabda:
    "Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Sahih" mereka.)
(LINK)


Dapatkan Mesej Bergambar di Sini


Related Posts with Thumbnails